Radmilamandiri

Yogya (Tak) Lagi Jawara Kota Layak Huni

SEPERTI kita ketahui, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Pusat baru-baru ini meluncurkan daftar kota di Indonesia yang dianggap nyaman untuk ditinggali (layak huni) atau Indonesian Most Livable City Index (MLC) 2014 oleh masyarakat. Even ini sudah berlangsung sejak tahun 2009. Dalam daftar indeks yang dikeluarkan tahun 2009, 2011 dan 2013, Kota Yogya selalu menjadi jawara. Tetapi di tahun 2014 ini, meski tetap masuk dalam kategori ternyaman, karena di atas angka rata-rata nasional yaitu 66,82, tetapi Kota Yogya tak lagi menjadi jawara Kota Layak Huni.

Kota Yogya berada di peringkat 4 dan kalah oleh kota Balikpapan, Kota Solo dan Kota Malang.
Peringkat ini seakan menjadi ‘kado’ kepemimpinan tahun ke-3 Walikota Haryadi Suyuti beserta seluruh jajarannya dan juga kita selaku insan warga masyarakat Kota Yogya juga prihatin. Pembangunan hotel yang terus menerus, berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) publik, layanan transportasi publik yang belum baik dan lainnya sedikit banyak pasti mempengaruhi penilaian Kota Layak Huni.

Berbicara mengenai kota layak huni, tentu tidak lepas dari keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Definisi Livable city, kota layak huni menurut Harberg seorang, ahli tata kota, yaitu…. a city where I can have a healthy life and where I have the chance for easy mobility. The liveable city is a city for all people.

Ikatan Ahli Perencanaan sendiri merilis kriteria Kota Layak Huni meliputi : fisik Kota, kualitas lingkungan, transportasi-aksesibilitas, fasilitas, utilitas, ekonomi dan sosial. Melihat hal tersebut, RTH masuk ke dalam beberapa kriteria tersebut. Dari beberapa kriteria dan indikator turunannya, perlu dilihat langkah- langkah mengatasinya. Pertama, terkait dengan adanya aspek fisik kota termasuk di dalamnya tata ruang dan ruang terbuka hijau, pemerintah kota dapat melaksanakan moratorium pembangunan hotel dan pembangunannya. Hal ini harus segera dilaksanakan karena pembangunan hotel ini mengurangi ‘uraturat’ air di bawah dan mengurangi kuantitas RTH dan kualitas lingkungan. Pemkot sendiri sebenarnya telah menerapkan moratorium izin di akhir 2013, tetapi ini moratorium ‘semu’ karena ini adalah moratorium izin, bukan kepada moratorium pembangunannya.

Perlu diingat, konsep yang sudah dikaji Kementerian Pekerjaan Umum, Yogya merupakan heritage city atau poros budaya. Tentu kita tidak ingin 10 atau 20 tahun lagi para wisatawan mancanegara yang datang ke Yogyakarta kecewa karena akan mendapati banyak hotel tinggi, yang fasadnya modern dan tidak menyatu dengan bangunan sekitarnya. Kedua, terkait dengan persoalan RTH publik. Pemerintah kota dapat merevitalisasi taman- taman yang selama ini ada. Taman- taman di Yogya selama ini dikelola komunitas.

Taman P2KH Gambiran, Taman Kehati di Pengok dan lainnya dikelola kelompok masyarakat. Pemkot dapat turun tangan dengan melakukan pemeliharaan dan perawatan taman tersebut. Anggaran yang dipakai dapat diambil dari dana corporate social responsibility (CSR). Pemkot Yogya dapat meniru langkah Pemkot Surabaya dengan melakukan konversi lahan komersil misalnya SPBU menjadi taman-taman untuk fasilitas warga dengan memakai dana dari CSR. Tercatat ada 13 taman yang merupakan hasil konversi yang awalnya adalah SPBU di Surabaya.

Suasana kota Surabaya-pun menjadi lebih indah, apik dan nyaman. Terkait dengan fasilitas transportasi, sudah jelas, revitalisasi angkutan perkotaan menjadi perhatian kita semua. Pemkot dapat menyediakan bus angkutan gratis bagi pelajar, mahasiswa dan pegawai Pemkot dengan menggandeng CSR perusahaan yang ada di Yogya. Hal ini sudah dilakukan Pemprov DKI dalam menyediakan angkutan umum. Di balik itu semua, ada hikmah dengan menurunnya peringkat ini. Hal ini seakan menjadi peringatan bagi Pemerintah Kota dalam mengelola kota ini. Senyampang, Walikota masih mempunyai kesempatan memperbaiki ini dalam masa bakti sampai 2016, seharusnya Pak Wali mempunyai visi dan misi yang lebih jelas tentang Kota Yogya. Pak Wali juga harus sering turun ke bawah untuk lebih mengetahui persoalan riil di masyarakat dan segera merumuskan solusinya secara tepat dan cepat. Harapannya, semoga Yogya menjadi (lebih) nyaman (kembali). q – c. (Dimas Hastama Nugraha, Pemerhati Masalah Permukiman dan Perkotaan, Peneliti Bidang Geografi Manusia dan Studi Perkotaan di Kementerian PU). sumber: www.krjogja.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

back to top